Ampas emosi

Dipikir-pikir, enak ya kalau setiap bangun tidur di pagi hari kita seperti di-restart ulang. Isi pikiran dan jiwanya.

Siap memulai hari dari nol lagi.

Tapi, sayang, kenyataannya, manusia itu makhluk yang sungguh kompleks. Mereka bukan robot.

Mereka adalah manusia-manusia yang selalu membawa ampas-ampas emosi dari hari kemarin dan kemarinnya lagi.

Selama tidak dijernihkan, ya siap-siap menjadi karat dan sampah yang menumpuk di comberan.

A Missing Piece

I was thinking in the midst of world global issue today concerning Palestine,

As I consume more and more literacy regarding the issue,

And develop a new fascination with the world history,

I found another connection with my late father.

I remember him almost vividly.

Sitting in front of the television in his sarong and white singlet (bapak-bapak Indonesia style)

Watching the evening news report “Dunia Dalam Berita”

Those newscaster were reporting the Intifada movement propelled by Yasser Arafat.

My Dad has a fascination with foreign language, culture and world history.

He’s an avid reader. He reads loads of literature he could get his hands on.

He study Czech language and teach himself Arabic, English, and some Turkish.

He left the world at the right time as God intended.

But it was when I barely have a strong sense of identity.

When I was fifteen.

Sometimes I do feel that when I read one of his book collections that I maybe yearn for a connection with him.

I feel elated when I see his train of thoughts written in the margins.

I feel that his writings were meant for me to read.

Just a few days ago, my sister said that her love to drive were taken after our dad.

After my dad did Subuh prayer, he would take us kids to drive around in a car aimlessly while blasting to a music. (Among his favourite are Gypsy King, Beatles, and Nat King Cole).

Its also her way of making a connection with him.

And us trying to preserve his legacies.

From the limited memories I have of him,

I remember some and held on tightly to it.

When I first started to do daily prayer,

He praised me by saying that he felt really grateful seeing me performing shalat without being told to.

Ia also remember,

One day I read one of his recently bought books which he put on the table.

I think it was written by Sayid Qutb about Islamic World History.

Seeing me reading that, he told me it was too heavy for me to digest it.

Which was true as I was only 13 at that time but still was intrigued by it.

The next day, when he went home, he brought with him a Gadis magazine which I and my sister devour it with pleasure.

But as I grew older now and as I close more gap in our age before his passing,

I couldn’t help but wonder that if we see each other again,

Will he feel proud seeing how his daughter grew up to be.

That I am well-versed and that I can hold a conversation.

I do like to pick his brain about the world issues of today.

He was born in 1937.  

Definitely he has seen a lot of history taken place in his lifetime.

What would he do? What would he say?

When I choose to join a political cause back in university what would he think?

I have divert from that path way back when, but didn’t regret it.

I knew that I need to find my own path by stitching the missing pieces.

I must confess that although he left a hole in our lives, he passed on so many legacies that we treasure and maybe just aware of recently during our grown-up phase.

Its 2023 now Dad.

I am sad to say Palestine-Israel is still the world core issue in todays world.

But arent you proud that I am standing in the right side of history?

Hope you are.

Missing you today.

*sendingAlfatiha

Lillah

Pada suatu waktu, saya mendengar percakapan di sebuah talkshow di antara pasangan suami istri yang telah menikah sekian tahun lamanya.

“Kamu jangan mati dulu, ya. Aku ga akan bisa ngelanjutin hidup tanpamu. I think life has lost its meaning without you in it.”

Beberapa waktu lalu, terdengar perkataan seseorang yang kurang lebih serupa.

“Bila ibuku sudah tak ada, rasanya hidup sudah tak patut dijalani.”

Saya sendiri pun mungkin tak sepenuhnya lepas dari perasaan demikian.

Di saat ini, hal yang paling memotivasi hidup saya mungkin anak. Dialah sumber penggerak. Untuk mencari nafkah, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk menjadi lebih berani bahkan.

Tetapi, bagaimana jika ternyata umur anak kita lebih pendek dari kita sendiri sebagai orangtuanya? Bukankah acapkali terdengar berita tragis orangtua yang kehilangan anaknya di usia kecil.

Ah, bila dipikir kembali … Anak itu sejatinya bergantung pada kita mungkin hanya sampai akil baligh. Perlahan tapi pasti, mereka tentu akan melepaskan genggaman tangannya dari kita. Yep, mereka hanya akan menemani lekat diri kita di dunia paling lama selama 18 tahun. Ada saatnya nanti dia akan menuntut dan, memang seharusnya, berdikari. Menjadi dirinya sepenuhnya, meraih mimpi-mimpinya dan membentuk keluarganya sendiri. Setelahnya, kita pun hidup sendiri.

Lantas, apakah yang semestinya menjadi motivator terbesar dalam hidup saya kelak?

“Lillah.”

Renungan saya terbawa ke masa silam. Kala saya mendengar potongan nasihat dalam sebuah kelompok mentoring masa kuliah.

“Hidup yang kita jalani harus dipersembahkan pertama kali untuk Allah. Lillah.”

Bagi saya yang masih duduk di bangku sekolah, konsep itu masih abstrak di kepala.

Apakah saya memiliki Tuhan yang egois? Yang tak ingin menjadi urutan kedua dan kesekian?

Setelah satu dekade berlalu dari saat itu, setelah mengalami lebih banyak jatuh-bangun dalam hidup, juga melewati babak pernikahan, kelahiran, kesakitan… Kini, rasanya saya lebih mampu memahaminya.

Makna di balik ucapan Lillah ini.

Ini untuk kita sebagai manusianya. Lillah itu sejatinya sama dengan kebutuhan kita akan udara.

Bila manusia menjangkarkan motivasi utama cintanya kepada selain-Nya, kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya ataupun kebendaan lain, maka semua hanya temporer.

Ketika ia hilang, maka akan hilang pula keseimbangan kita.

Ketika kita menjadikan sesuatu itu sebagai “pusat semesta” kita, ia sungguh rapuh.

Sementara bila lillah… kita akan ikhlas menjalani peran.

Peran sebagai seorang ibu, anak, menantu, tetangga.

Bukankah sumber cinta (anak, ibu, pasangan) kita tak lepas dari kehendak sang Khaliq.

Yang menjadikan segenap atom tubuhnya untuk menemani hidup kita yang singkat di dunia ini.

Lillah… akan menyempurnakan segenap ikhtiar kita.

Menyerahkan seluruh umur kita untuk menjadi sebaik-baiknya hamba-Nya adalah jawaban bagi ketenangan hati yang ajeg, serta kekokohan pijakan kita.

Lillah … adalah jangkar kita.

Lillah … adalah awal dan akhirnya.

JETLAG

Kusadari beberapa waktu belakangan aku merasa down, jenuh, kering-kerontang.

Sungguh jetlag setelah menamatkan naskah novel perdana.

Setelah proses menulis selama bertahun-tahun di sela-sela kesibukan, aku tak sabar ingin menerima hasil yang instan. Lalu segera berproses untuk menggarap karya berikut. Dan berikutnya lagi.

Aku tak memberi waktu untuk merayakan keberhasilan kecilku itu.

Keberhasilan kecil?

You have just finished writing a 500 pages fiction!

For sure, you deserve to celebrate it. No, it’s a must.

Rayakan! Syukuri milestone pencapaianmu.

Take a break.

Treat yourself to a slice of cake and a cup of hot capuccino you’ve been wanting for awhile.

Buy a good book n listen to your fave songs.

Yep, dalam perjalanan hidup kita, jangan lupa untuk mengambil jeda sesekali dan merayakan pencapaianmu.

Sebelum kamu melangkah, untuk mengukir karya-karya baru berikutnya.

Ini baru awal mula.

The beginning always starts today.

Lets go!

Mencari Bahagia*

Kebahagiaan jangan disandarkan pada faktor di luar diri

Jangan kau taruh pada anak dan pasangan sekalipun

Jika kau kesulitan mencari makna bahagia itu

Mungkin yang pertama mesti kau lakukan

Adalah menguliti lapis demi lapis dirimu sendiri

Tanyakan padanya, apa arti bahagia itu.

Mungkin kau bisa mulai mencarinya

dengan sejenak memutuskan hubungan dengan suara-suara di media sosialmu yang makin gaduh

hingga kau sendiri merasa jati dirimu semakin kabur saja.

Mungkin kau bisa mencicipinya

dengan membuka buku di tengah derai hujan

sambil menyeruput teh hangat dan kue.

Mungkin kau bisa meraihnya lebih dekat

dengan meninggalkan tugasmu dan menghabiskan waktu bermain sepenuhnya bersama anakmu

dengan menghubungi saudara dan bebas menumpahkan beban hati yang terpendam

Dengan memejamkan mata saat kau sibuk mencuci piring

dan sejenak berhitung

5… 4… 3… 2… 1…

Sebelum kau buka mata dan kausadari sepenuhnya akan satu momen yang Tuhan beri

Saat ini, detik ini, di tempat ini

Kau masih diberi rejeki napas untuk mencari arti bahagia itu.

*Tulisan ini dibuat di pekan yang kelabu.

Berpijaklah di Atas Kaki Sendiri

Saat menempuh perjalanan kaki menuju lapangan untuk menunaikan shalat Idul Adha, saya berangkat bersama suami dan anak. Sebelum tiba, kami berpisah jalan.

Saya meniti jalan sendiri menuju lapangan.

Sementara orang lain tetap beramai-ramai membentuk shaf, saya yang sendiri jadi merenung dengan pikiran sunyi ini.

Kita menempuh perjalanan bersama-sama di dunia nan fana ini.

Namun percayalah pada satu saat, titik persimpangan itu ‘kan tiba.

Ada saatnya kelak kita pun berpisah. Persis seperti di pagi hari ini.

Masing-masing diri kita mempunyai takdir sendiri. Jalan hidup yang berbeda.

Kita lahir sendiri dan kita akan menghadap Allah sendiri.

Di dunia, berkomunitas itu penting.

Berjejaringlah dengan orang-orang baik dan ahli ilmu.

Di sana, tempat kita untuk saling bertukar kebaikan dan energi positif

Namun, siapapun diri kita harus tetap bisa berdiri di atas kaki sendiri.

Tak pernah sekali-kali menyandarkan harapan kepada manusia yang lemah dan khilaf.

Ketika ada yang jatuh dan hilang dari hidupnya, tidak akan goyah.

Ingatlah, bahwa kau punya Allah yang Maha Besar

pengenggam setiap jiwa.

Maka bila saat perpisahan yang pasti itu tiba, tak apa untuk berhenti sejenak.

Tetapi kemudian, lanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih kuat. Dengan pundak yang lebih tegap.

Allah tengah memanggilmu untuk kembali menyandarkan hanya kepada-Nya.

Ingatlah akan janji indah-Nya,

Bahwa hamba-hambanya yang beriman dan beramal shaleh kelak akan kembali dipertemukan di Syurga-Nya.

Maka setelah berpisah sementara, ingatlah akan janji pertemuan itu.

Seperti saya yang melangkah meninggalkan lapangan seorang diri usai shalat.

Lalu kembali dijemput anak dan suami di persimpangan menuju komplek rumah. 🙂

11 Juli 2022

EVALUASI DAN REFLEKSI PERJALANAN HS

Sudah lama nian tak menulis di blog ini. 😛

Katanya, proses pendidikan homeschooling itu sebaiknya terdokumentasikan dengan baik. Dengan begitu, kita bisa melacak kemajuan belajar anak. Apalagi bagi kami yang tidak memberlakukan kurikulum yang ketat dalam pendidikan HS anak kami. Kurikulumnya suka-suka dan mungkin lebih menyerupai Unschooling.

So, okelah. Di akhir tahun 2021 ini, saya ingin mengevaluasi kembali perjalanan HS Radi yang sudah berjalan selama 2 tahun (sepanjang umur pandemi). *yes, its been that long*

Itung-itung, ini seperti dokumentasi ala kadar sekaligus bahan refleksi ke depannya.

Jujur, selama 2 tahun menempuh pendidikan anak sekolah rumahan, ada masa-masa labil dan goyah di tengah jalan. Target mandek, rencana buyar, motivasi redup. Ini menimpa bukan hanya pada subjek belajar (murid), tetapi juga pada fasilitator belajarnya (yakni saya). Terkadang saat melihat status anak-anak teman (terutama lewat media sosial) yang udah bisa begini-begitu, saya jadi membandingkan dengan kemampuan anak sendiri. Ada yang sudah hafal beberapa surat panjang, ada yang sudah khatam Quran, ada yang matematikanya udah endeswey blablabla…

Bukan hanya bagi anak-anak sekolah konvensional, tetapi juga anak-anak HS yang sudah menunjukkan prestasi dan pembelajaran yang lebih terfokus. Yah, namanya manusia biasa, saya tetap tak ingin anak saya tertinggal dari teman-teman sebayanya.

Memang benar perkataan para praktisi HS yang menasihati bahwa orang-orang yang memilih untuk menjalani HS harus memiliki mental perintis. Mengambil jalan sunyi HS tentu kudu tahan banting dan pakai kaca mata kuda. Kuncinya, sedari awal kita harus punya prinsip pendidikan di keluarga yang solid. Kalau akar kita udah kokoh, ga akan mudah tuh doyong ke sana kemari… apalagi sampai tumbang terhempas badai kehidupan *naon sih*.

Yah, begitulah… Intinya sekarang sambil menulis blog catatan ini, saya ingin merefleksikan kembali apa sih falsafah tentang pendidikan anak di tengah keluarga kami.

Alhamdulillah, sewaktu ngobrol dengan suami, pemahaman kami masih sejalan. Bahwa homeschooling di masa SD ini adalah keputusan terbaik yang kami ambil bagi buah hati kami. Meski begitu, kami tak menutupi pilihan untuk kembali mengambil jalur sekolah konvensional bila di masa belajar berikutnya kami merasa itu pilihan paling tepat bagi anak kami untuk lebih bisa mengembangkan diri lagi.

  • Fase 7-11 tahun: penanaman karakter, masa eksplorasi minat & bakat
  • Fase 12-15 tahun: pengembangan diri yang terfokus
  • Fase 16-18 tahun: memasuki dunia profesi/bimbingan karier, bersiap terjun ke masyarakat, pertajam portofolio diri

Jenjang berikutnya optional bagi subjek belajar karena lembar ijazah tak pernah jadi target. Yang penting aktualisasi diri (kebermanfaatan) dan perbaikan diri terus-menerus (peningkatan). Kami berharap, menuntut ilmu terus-menerus sudah akan menjadi kebiasaan yang mengakar dalam diri karena budaya yang dikembangkan di keluarga secara konsisten.

Nah, dengan falsafah sebagai akar HS yang solid sudah dalam genggaman, saya semestinya takkan lagi banyak labil dan bimbang. Meski pencapaian dalam bidang akademis di atas kertas mungkin belum terlalu terlihat dibanding teman sebayanya, kami tetap berpegang bahwa masa SD Radi itu yang ingin kami kuatkan adalah pendidikan karakter dan eksplorasi minat dan bakat sepuasnya. Coba ini-itu, bersosialisasi dengan banyak tipe orang, memperkaya pengalaman hidupnya.

Sejujurnya, karena masa pandemi, banyak kegiatan belajar yang terpaksa ditunda dulu sepanjang tahun HS kemarin. Tahun 2021 ini Radi hanya mengikuti kelas zoom les bahasa jepang, eksperimen sains dan bookclub sesekali. Kelas musik dihentikan, perjalanan belajar (berkunjung ke museum, pasar, naik aneka transportasi umum) ditiadakan. Pandemi ini memang benar-benar mengacak-acak agenda kami.

Namun sebagai resolusi HS tahun depan: Rencananya Radi akan melanjutkan les piano, belajar coding (via udemy), dan mulai belajar renang. Saya pun akan mulai menugasi satu project belajar setiap bulannya. Misal, bulan Januari, project membuat game; Februari, menulis buku; Maret, social project; April, green project, … dll.

Bismillah, semoga tahun 2022 kita bisa bertumbuh lebih baik lagi.

Ganbatte!

Renungan

Jelang umur kepala empat, rasanya saya semakin merenungi arti hidup ini.

Sudah cukup lama saya berjalan di bumi ini. Apa yang telah saya hadirkan?

Jika saya dipanggil pulang sekarang, apa yang bisa saya persembahkan kepada sang Pencipta yang telah menciptaku ke dunia fana ini?

Apa jejak yang bisa saya berikan pada dunia yang saya datangi puluhan tahun silam dan akan tinggalkan kelak?

Arti kontribusi dari umur saya ini semakin mengusik saya.

Apa pencapaian saya hingga saat ini?

Toh, rasanya saya bukan siapa-siapa.

Saya belum punya karya yang bisa dibanggakan. Pun saya tak punya karier gemilang yang dengannya saya bisa mengangkat harkat derajat keluarga dan bersedekah lebih banyak.

Suatu ketika pernah saya berpikir jikapun saya tidak punya kontribusi yang besar, ijinkan saya melahirkan dan membesarkan seorang anak. Setidaknya saya telah menyumbangkan satu manusia baik kepada dunia ini. Mungkin itu peran yang bisa saya mainkan. Mungkin itulah kontribusi terbesar saya.

Meski begitu, saya menyadari bahwa seorang anak adalah entitas terpisah yang tak bisa kita dikte sedemikian rupa. Kelak pada waktunya nanti ia akan mengambil perannya sendiri. Peran yang terpisah dari diri saya.

Lalu pertanyaan yang sama kembali berkumandang. Peran apa yang akan saya ambil saat ini sebelum waktu saya habis?

Pernah pula saya berpikir, saya ingin meninggalkan jejak dengan menorehkan sebuah mahakarya. Sebuah tulisan karya yang bisa membawa dampak positif dan menginspirasi banyak orang. Saya pikir hanya itu pilihan yang bisa saya ambil karena saya enggan berhubungan dengan banyak orang dan kegiatan menulis agaknya berbau soliter. Its just me and the world inside my head.  

Itu mimpi saya. Tetapi dengan berjalannya waktu, saya merasa mimpi besar ini serasa menyesakkan. Saya merasa dikejar-kejar waktu, padahal kemampuan saya segini-gini saja.

Paradigma saya pun diubah sehingga target saya tak lagi menjadi beban. Jika pun menulis, saya hanya ingin sekadar belajar menata pikiran saya dan berbagi. Masterpiece or not, at least Im leaving behind a bit of my legacy. Sekalipun itu hanya berupa kicauan di blog atau sosmed. 😛

Akhirnya,

jika ditanya saat ini, lalu apa sumbangsih dari umur yang saya habiskan di dunia?

Maka, saya akan menjawab.

Saya berusaha menjadi manusia yang sebaik-baiknya.

Sepanjang hidup, saya berusaha agar tidak pernah menyusahkan hidup orang lain.

Mungkin saya akan melakukan hal-hal yang dianggap sebelah mata, seperti memungut kucing liar di jalan dan merawatnya.

Saya berusaha memilah sampah dan membuat komposter di rumah sebagai bentuk kepedulian saya terhadap kelestarian bumi—planet tempat saya dilahirkan.

Saya senantiasa belajar ilmu parenting dan berusaha memutus rantai pengasuhan yang kurang baik.

Menyisihkan harta setiap kali dapat uang.

Menghibur dan menyemangati orang lewat tulisan sosmed kita.

Semua itu bernilai.

Ya. Untuk berkontribusi, kita tidak perlu berdiri di podium dan menggalang massa. Kita tidak perlu menerima imbalan finansial.

Setiap orang memiliki perannya masing-masing. Dan tak ada peran yang lebih penting atau lebih kecil dari yang lain. Setiap orang berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya.

Itu sudah cukup.

“Service to others is the rent you pay for your room here on earth.”

–Muhammad Ali

Toxic.

ada satu titik masa dalam hidupku

ketika kumemilih untuk memelankan laju

kuhirup udara di sekitarku dalam-dalam

kureguk panorama sekitarku

kusyukuri napasku hari itu.

 waktu terus berlari,

 lambat laun diri ini kembali terperosok

terseret masuk ke dalam spiral keriuhan dunia 

berebut menjadi yang terdepan.

menggegas pencapaian.

memenangkan penilaian dari orang lain.

terdepan. tercepat. terbaik.

tanpa disadari kutelah kembali berjalan di rute

yang semakin hari semakin toxic

saat jalan itu semakin menjauhkanku dari diriku yang sejati

maka satu pilihan nyata mesti kuambil

memilih keluar dari rute itu

dan kembali.